Minggu, 30 Juni 2013

URGENSITAS PENDIDIKAN POLITIK



I.                        BAB 1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Makin dekatnya Pemilihan Umum Presiden dan para anggota Legeselatif pada tahun 2014 (PEMILU 2014) menjadikan tahun 2013 bisa dikataka
Add caption
n sebagai tahun Perpolitikan. setelah ditetapkannya 11 PARPOL oleh KPU menjadi peserta Pemilu, menjadikan Suhu perpolitikan yang semakin panas.  pasalnya meski KPU belum menetapkan waktu buat kampaye para partai Politikpun sudah mulai membuat setrategi kampanye terselubung di berbagai daerah maupun elemen, baik di Media masa seperti Iklan di Televisi, Koran atau pamfled-pamflet bendera partai atau tokoh yang sudah menjamur dimana-mana.

Begitu pula situasi yang terjadi pada pesta demokrasi yang baru-baru ini telah terselenggara di Jawa tengah. Setelah menelisik Hasil Perhitungan cepat atau quick count dari sejumlah lembaga survei pada Pilgub Jateng, Minggu (26/5/2013), meski telah menetapkan Ganjar sebagai pemenang lembaga survai juga mencatat angka Golput cukup tinggi yakni 49 persen. Hal ini menunjukan bahwa angka golput di Jawa Tengah sangatlah tinggi, pemerintah seharusnya harus bertindak cepat dalam mengatasi fakta Problematika masyarakat dalam mengembalikan kepercanyaan masyarakat terhadap sistem Demokrasi untuk memilih para wakil rakyat di  pejabat pemerintahan. Berdasarkan analisis tersebut, bisa dimungkinkan terjadi konflik. Dalam politik, carier planning tidak jelas bila dibandingkan jabatan publik lainnya, sehingga dimungkinkan terjadi manuver-manuver politik. Bila di bidang hukum, saksi mata menjadi kunci. Namun di politik tidak demikian, yang menjadi kunci justru pembisik. Sehingga untuk mengantisipasi terjadinya konflik, perlu dibangun komunikasi
Maka Urgensitas pendidikian politik perlu di wacanakan untuk menjadi solusi problem golput, terutama untuk para pemilih pemula yang dalam peraturan Undang-undang setiap warga Negara yang menginjak usia 17 tahun keatas wajib ikut serta dalam peyelenggaraan negara, yang tepatnya kebayakan masih menjadi siswa SMA sederajat. Maka Perlu adanya pendidikan dasar  mengenai poltik pada siswa SMA, mulai dari pemberian pengertian tentang pentingnya penyaluran aspirasi mereka yang dapat menentukan kepemimpinan kedepan, hingga member pengertian tentang cara efektif untuk menilai Tokoh yang tepat.

Tujuan

Adapun tujuan gagasan ini adalah urgensi akan sebuah solusi kongkrit kehawatiran bayaknya suara masyarkat yang Golput dalam mengahadapi Pemilu 2014. maka melalui sebuah proses pendidikan politik yang di perkenalkan sejak dari bangku sekolah dapat menjadi solusi efektif menekan angka golput, terutama pada siswa SMA sederajat. pasalnya pada siswa SMA merupakan Subjek pemilih pemula dalam sistem perpolitikan.

Manfaat

dengan adanya pendidikan politik dengan didukung SDM yang baik dari masyarakat tentang pengetahuan pentingnya suara mereka dalam Pemilu-Pemilu yang di selenggarakan pemerintah, melalui mata pelajaran pendidikan politik yang di perkenalkan sejak bangku sekolah. pasti pendidikan politik mempunyai progres cemerlang hingga dapat meminimalisir angka Golput pada Pemilu 2014 maupun perjalanan Demokrasi kedepan.

Konsep Para Ilmuan
Dalam Pemilu 1999, 2004 dan 2009, masyarakat golput atau apolitik tak dikhawatirkan keberadaannya karena suasana euforia reformasi politik masih tinggi. Namun dalam Pemilu 2014 nanti, kedua kelompok tadi relevan dicermati. Karena, seperti diharapkan bersama, Pemilu 2014 bukanlah sembarang pemi­lu, melainkan pemilu yang dijanjikan terlaksana demokratis, jujur, adil dan dalam nuansa reformasi lanjutan. Banyak kalangan percaya, sukses tidaknya Pemilu 2014 adalah tolok ukur dan bagian tak terpisahkan dari kesuksesan usaha bangsa Indonesia keluar dari krisis multidimensi. ujar Hendrizal (2013) dalam artikelnya.
 Menelisik pasal-pasal pada UUD yang membahas tentang ancaman bagi masyarakat yang melakukan Golput, Hananto (2002) dalam jurnalnya menulis “akhir-akhir ini masalah Golput ramai dibicarakan te rutama oleh akademisi dan politisi, hal ini sehubungan dengan RUU pemilu yang sedang di bahas di DPR memasuki pasal 142: “barang siapa dengan sengaja mengacaukan, menghalang-halangi atau mengganggu jalannya pemilu yang sedang di selenggarakan menurut undang-undang di ancam pidana paling lama lima tahun”, hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang mengajak untuk golput bisa di kategorikan menghalang-halangi sehingga dikenai sanksi menurut pasal tersebut”.
Perbedaan makna antara political socialization dengan political education sebagaimana dikemukakan di atas memiliki implikasi pengembangan kurikulum dan disain pembelajaran, letak perbedaanya adalah bahwa mahasiswa yang mempelajari sosialisasi politik memiliki perhatian utama berkaitan dengan persoalan pemeliharaan sistem politik, terkait dengan pewarisan orthodoxy politik, mereka mempertanyakan bagaimana individu-individu belajar untuk mendukung status quo sosial politik, sebagaimana terbaca dalam norma-norma politik dan kehadiran peran politik permanen. Pendidikan politik (political education) memiliki perhatian yang lebih luas. Pendidikan politik tidak hanya membatasi idinvidu untuk belajar mendukung tatatan politik yang berlaku, tetapi juga meminta individu untuk belajar menciptakan dan merubah tatatan politik. “They should ask not merely how individuals learn to confrom so that political orders endure; but they also should ask how individuals learn to create and to change political orders” (Renshon, 1997:193).
menurut JJ Patrick (1989), setidaknya terdapat 4 dimensi sasaran pendidikan politik dimaksud. Pertama, pengetahuan politik. Ini mengacu pada konsep, informasi dan pertimbangan faktual mengenai sistem pemerintahan dan politik. Jadi bukan mengarahkan rakyat agar memilih parpol tertentu.
Kedua, keterampilan intelektual terkait kepiawaian menjelaskan, meng­gambarkan dan menginterpretasi atau menilai fenomena politik. Ini agar rakyat dapat berpikir independen sebagai modal hidup menjadi warga negara. Bukan mengajari fanatisme secara membabi buta terhadap satu kekuatan politik.
Ketiga, keterampilan partisipasi politik yang diharapkan membekali rakyat dengan kemampuan memak­simalkan interaksi dengan orang lain, memelihara sikap kebersamaan dalam kelompok, bekerja sama dengan orang lain, melakukan negosiasi dan bargaining dalam menyusun keputusan politik.
Keempat, sikap politik. Ini terkait aspek internal rakyat yang diharapkan mempengaruhi pilihan tindakannya terhadap tujuan, orang atau peristiwa. Sasarannya ialah perasaan menerima-menolak atau mendekat-menghindar yang terkait dengan usaha mem­promo­sikan interes dalam politik, penghargaan terhadap perbedaan visi (pendapat), rasa keakraban dan kepercayaan kepada pemerintah yang sah, serta semangat nasionalisme dan patriotisme.
Bagi masyarakat yang secara politis sudah menjadi pemilih tradisional dengan indikator keanggotaannya dalam parpol, pendidikan politik tetap penting sekalipun mungkin menjadi nomor dua sesudah kampanye atau pemantapan kader. Partisipasi politik mereka tak layak diragukan karena interes politiknya telah terbangun.
Kartini Kartono (1990:vii) memberikan pendapatnya tentang hubungan antara pendidikan dengan politik yaitu "pendidikan dilihat sebagai faktor politik dan kekuatan politik. Sebabnya, pendidikan dan sekolah pada hakekatnya juga merupakan pencerminan dari kekuatan-kekuatan sosial-politik yang tengah berkuasa, dan merupakan refleksi dari orde penguasa yang ada".
Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita ketahui bahwa pendidikan dan politik adalah dua unsur yang saling mempengaruhi. Pengembangan sistem pendidikan harus selalu berada dalam kerangka sistem politik yang sedang ­dijalankan oleh pemerintahan masa itu. Oleh karena itu segala permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan akan berubah menjadi permasalahan politik pada saat pemerintah dilibatkan untuk memecahkannya.
Pengertian dari pendidikan politik yang lebih spesifik dapat diambil dari pendapatnya Alfian (1981:235) yang mengatakan bahwa: "pendidikan politik dapat diartikan sebagai usaha yang sadar untuk mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka rnemahami dan menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam sistem politik yang ideal yang hendak dibangun".
Dari dua definisi yang tertera di atas, dapat kita ambil dua tujuan utama yang dimiliki oleh pendidikan politik. Pertama, dengan adanya pendidikan politik diharapkan setiap individu dapat mengenal dan memahami nilai-nilai ideal yang terkandung dalam sistem politik yang sedang diterapkan. Kedua, bahwa dengan adanya pendidikan politik setiap individu tidak hanya sekedar tahu saja tapi juga lebih jauh dapat menjadi seorang warga negara yang memiliki kesadaran politik untuk mampu mengemban tanggung jawab yang ditunjukkan dengan adanya perubahan sikap dan peningkatan kadar partisipasi dalam dunia politik
Rusadi Kartaprawira (1988:54) mengartikan pendidikan politik sebagai "upaya untuk meningkatkan pengetahuan politik rakyat dan agar mereka dapat berpartisipasi secara maksimal dalam sistem politiknya."
Berdasarkan pendapat Rusadi Kartaprawira tersebut, maka pendidikan politik perlu dilaksanakan secara berkesinambungan agar masyarakat dapat terus meningkatkan pemahamannya terhadap dunia politik yang selalu mengalami perkembangan. Pembelajaran pendidikan politik yang berkesinambungan diperlukan mengingat masalah-masalah di bidang politik sangat kompleks, bersegi banyak, dan berubah-ubah.
Merujuk pada semua pengertian pendidikan politik yang disampaikan oleh beberapa ahli di atas, pada akhirnya telah membawa penulis sampai pada kesimpulan yang menyeluruh. Bahwa yang dimaksud dengan pendidikan politik adalah suatu upaya sadar yang dilakukan antara pemerintah dan para anugota masyarakat secara terencana, sistematis, dan dialogis dalam rangka untuk mempelajari dan menurunkan berbagai konsep, simbol, hal-hal dan norma-­norma politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Tapi bagi massa mengambang, ur­gen­si pendidikan politik menemukan relevansinya. Massa mengambang inilah yang harus menjadi fokus voter education, sebab di samping kelompok apolitik dan golput berada di sana, kelompok ini juga paling rentan terhadap praktik money politics. kendati terkesan ter­lambat, voter education tetap urgen dilaksanakan. Ini setidaknya agar para calon pemilih tidak akan berubah menjadi golput di bilik suara saat pencoblosan dalam Pemilu 2014 nanti.
 III.            Metode Penulisan.
Analisis Situasi Dinamika politik sekarang
 Kalau bilang masalah Politik sekarang  masyarakat menghukumi sebagai suatu kegiatan yang kotor, penuh intrik, dan dinaggap sebagai lembah hitam. Suatu kondisi di anggap sangat parah kejahatannya mulai dari literature agama maupun hakikat dasar Negara “Pancasila”. memang suatu barang yang tidak tabu lagi tentang oknum politik yang melakukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Seperti kebijakan Pemerintah yang baru-baru ini telah di putuskan untuk menaikan Harga BBM yang semakin menyengsarakan Rakyat kecil. seperti artikel yang dikemukakan Kusno (2013), meski pemerintah mengklaim, kenaikan harga BBM akan menguntungkan rakyat. Sayangnya, pemerintah tidak bisa menjelaskan argumentasi itu lebih jauh. Pada kenyatannya, kenaikan harga BBM justru akan menyengsarakan rakyat.
  1.  Kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang, termasuk kebutuhan pokok. Selanjut, kenaikan harga barang ini akan memicu kenaikan biaya hidup lainnya, seperti sewa kontrakan.
  2. Kenaikan harga BBM akan mendorong kenaikan tarif angkutan umum dan alat transportasi lainnya. Akibatnya, pengeluaran rakyat untuk urusan transportasi akan meningkat, seperti ongkos bepergian, transportasi berangkat ke tempat kerja, dan ongkos transportasi anak bersekolah.
  3. Kenaikan harga BBM akan membebani industri berupa kenaikan biaya produksi. Tentu saja, untuk mengimbanginya, pengusaha akan melakukan efisiensi. Pilihannya: mereka akan memangkas kesejahteraan buruh atau mengurangi jumlah pekerja. Dengan demikian, kenaikan harga BBM akan memicu penurunan kesejahteraan dan gelombang PHK.
  4. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), yang jumlahnya  mencapai 99,9% dari keseluruhan pelaku usaha di Indonesia, akan terkena dampak kenaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM jelas membuat biaya produksi UMKM yang menggunakan BBM akan meningkat. Selain itu, biaya transportasi dan distribusi barang juga akan meningkat.
Sehingga bayak masyarakat yang hanya menilai pemerintah Gejala carut-marutnya Pemilu, Pemilukada, Pilpres, terlihat dari kasus pemalsuan surat MK 2009. Sepertinya negara gagal menciptakan sistem yang sensitif dan mencegah politisasi pemilu dan Pilkada. Tanda Pemilu, Pemilukada, Pilpres seakan tak kunjung datang. Malah sebaliknya, proses demokrasi seperti sekarang ini menjadi momok dan menghantui. Hasilnya bukan lagi suara hati, tapi hanya suara terbanyak.
Praktik “mani politik” dengan kenikmatan sesaat itu kemudian bekerja sama meligitimasi kalau hal itu bukan lagi pelanggaran, bahkan dianggap sebagai dinamika politik. Jika melihat fakta Pemilu, Pemilukada, Pilpres, sejak reformasi, kejahatan bersama sudah seperti kabut pekat, hitam tak bercahaya harapan lagi. Tak ada lagi freedom sebagai substansi demokrasi. “Siapa yang bisa menyemburkan “mani”nya dengan tepat dan banyak dialah “pejantan.”
Publik pun kini sadar ketika “semburan mani politik” dan kenikmatan sesaat itu berlalu, perseteruan di wilayah elit hanya kemasan dengan bingkai membela rakyat. Partai dan elitnya semakin menjauh. Debat politik dalam siaran media, seakan hanya sandiwara dengan diakhiri babak transaksi kepentingan. Itu masih layak disyukuri, masyarakat masih terhibur dengan tontonan menegangkan. Jauh lebih fatal, mereka yang hanya tertidur, hadir untuk tanda tangan, mengundurkan diri seenaknya, jalan-jalan dengan bahasa studi banding, dan tak malu menyandang gelar “wakil rakyat.” Kebanyakan publik hanya bisa menunggu, kapan “mani” itu menyembur lagi, dan mendapat guyuran.
Bentuk Pendidikan Politik
Keberhasilan pendidikan politik tidak akan dapat tercapai jika tidak dibarengi dengan usaha yang nyata di lapangan. Penyelenggaraan pendidikan politik akan erat kaitannya dengan bentuk pendidikan politik yang akan diterapkan di masyarakat nantinya. Oleh karena itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih dapat menentukan keberhasilan dari adanya penyelenggaraan pendidikan politik ini.
Bentuk pendidikan politik menurut Rusadi Kartaprawira (2004:56) dapat diselenggarakan antara lain melalui:
1.      bahan bacaan seperti surat kabar, majalah, dan lain-lain bentuk publikasi massa yang biasa membentuk pendapat umum.
2.      siaran radio dan televisi serta film (audio visual media).
3.      lembaga atau asosiasi dalam masyarakat seperti masjid atau gereja tempat menyampaikan khotbah, dan juga lembaga pendidikan formal ataupun iniformal.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat kita lihat bahwa pendidikan politik dapat diberikan melalui verbagin jalur. Pemberian pendidikan politik tidak hanya dibatasi oleh lembaga seperti persekolahan atau organisasi saja, namun dapat diberikan melalui media, misalnya media cetak dalam bentuk artikel.
Apapun bentuk pendidikan politik yang akan digunakan dan semua bentuk yang disuguhkan di atas sesungghnya tidak menjadi persoalan. Aspek yang terpenting adalah bahwa bentuk pendidikan politik tersebut mampu untuk memobilisasi simbol-simbol nasional sehingga pendidikan politik mampu menuju pada arah yang tepat yaitu meningkatkan daya pikir dan daya tanggap rakyat terhadap masalah politik. Selain itu, bentuk pendidikan politik yang dipilih harus mampu meningkatkan rasa keterikatan diri (senseof belonging) yang tinggi terhadap tanah air, bangsa dan negara.
Apabila diasosiasikan dengan bentuk politik yang tertera di atas, maka menurut penulis yang menjadi tolak ukur utama keberhasilan pendidikan politik terletak pada penyelengaraan bentuk pendidikan politik yang terakhir yaitu melalui jalur lembaga atau asosiasi dalam masyarakat. Dalam hal ini penulis sangat sependapat bila pendidikan politik lebih ditekankan melalui jalur pendidikan formal. Pendidikan politik formal yaitu pendidikan pulitik yang diselenggrakan melalui lembaga resmi (sekolah).
Pokok-Pokok Materi Pendidikan Politik
Pokok-pokok materi pendidikan politik sepenuhnya tertuang sebagai muatan yang terkandung dalam kurikulum pendidikan politik. Kurikulum pendidikan politik adalah jarak yang harus ditempuh oleh seorang siswa dalam mencapai target yaitu melek politik yang ditandai dengan menguatnya daya nalar terhadap berbagai aktifitas politik dalam infrastruktur maupun suprastruktur politik
Berdasarkan pendapat Robert Brownhill di atas, jelas terlihat bahwa dalam mengembangkan kurikulum pendidikan politik, seorang guru harus pula memasukan mata pelajaran lain yang sekiranya ada hubungannya dengan pendidikan politik seperti di atas disebutkan yaitu mata pelajaran sejarah dan ekonomi dalam artian bahwa mata pelajaran lain tersebut bersifat sebagai pelengkap (komplementer) terhadap pendidikan politik.
Kurikulum pendidikan politik yang dicanangkan oleh Robert Brownhill di atas telah cukup lengkap. Seperti kita lihat, Brownhill tidak hanya memasukkan unsur materi politik namun juga terdapat unsur etika, ketaatan pada hukum dan kekuasaan, pemahaman terhadap jalannya pemerintahan dan pembuatan kebijakan, serta masalah ekonomi dan sejarah.
Hal-hal yang mengenai kurikulum pendidikan politik diatur dalam Instruksi Presiden No. 12 Tahun ]1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang menyebutkan bahwa bahan pendidikan politik antara lain:
a.       penanaman kesadaran berideologi, berbangsa, dan bernegara
b.      kehidupan dan kerukunan hidup beragama
c.       motivasi berprestasi
d.      pengamalan kesamaan hak dan kewajiban, keadilan sosial, dan penghormatan atas harkat dan martabat manusia
e.       pengembangan kemampuan politik dan kemampuan pribadi untuk mewujudkan kebutuhan dan keinginan ikut serta dalam politik
f.       disiplin pribadi, sosial, dan nasional
g.      kepercayaan pada pcmcrintah
h.      kepercayaan pada pembangunan yang berkesinambungan
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat kita lihat bahwa terdapat satu materi yang membedakan kurikulum pendidikan politik menurut Brownhill dengan bahan kurikulum pendidikan politik di Indonesia. Dalam kurikulum pendidikan politik di Indonesia, telah memasukkan unsur materi agama yang merupakan ciri khas bangsa Indonesia dalam bahan pendidikan politik.
Bahan pendidikan politik di Indonesia harus bersumber pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, dan berbagai makna yang dipetik dari perjuangan bangsa Indonesia. Semua bahan ajar pendidikan politik tersebut  patut untuk di jadikan mata pelajaran tersendiri agar asas keberhasilan lebih mengena pada siswa.
 IV.            BAB 4 Pembahasan
   Perkembangan Pendidikan Politik di Dunia Islam
Keterkaitan yang lebih jelas antara pendidikan dan politik dapat kita lihat di dunia Islam. Sejarah peradaban Islam banyak ditandai oleh kesungguhan ulama dan umara dalam memperhatikan persoalan pendidikan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh M. Sirozi (2005:3) bahwa "perkembangan kegiatan-kegiatan kependidikan banyak dipengaruhi oleh para penguasa dan para penguasa memerlukan dukungan institusi-institusi pendidikan untuk membenarkan dan mempertahankan kekuasaan mereka.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat terlihat bahwa institusi politik pada waktu itu turut mewarnai corak pendidikan yang berkembang. Keterlibatan penguasa dalam kegiatan pendidikan tidak hanya sebatas dukungan moril saja, namun juga dalam bidang administrasi, keuangan, dan kurikulum.
Masjid-masjid dan madrasah yang pada waktu itu sering dijadikan tempat belajar ilmu Islam tidak luput dari pengaruh institusi politik. Peranan yang dimainkan oleh masjid-masjid dan madrasah dijadikan fondasi untuk mendukung kokohnya kekuasaan politik para penguasa.
Kedudukan politik di dalarn Islam sama pentingnya dengan pendidikan. Tanpa otoritas politik, syariat Islam sangat sulit bahkan mustahil untuk bisa ditegakkan. Kekuasaan adalah sarana untuk mempertahankan syiar Islam. Di lain pihak, pendidikan bergerak dalam usaha untuk menyadarkan umat untuk menjalankan syariat. Umat tidak akan mengerti tentang syariat bila tanpa pendidikan. Bila politik (kekuasaan) berfungsi mengayomi dari atas, maka pendidikan melakukan pembenahan lewat arus bawah.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa lembaga pendidikan adalah sarana dakwah. Pendidikan sering dijadikan media dan wadah untuk menanamkan ideolodi negara atau tulang yang menopang kerangka politik. Pendidikan Islam tidak hanya berjasa menghasilkan para pejuang yang militan dalam memperluas peta kekuasaan namun juga para ulama yang berhasil membangun tatanan masyarakat yang sadar hukum dan taat pada pemerintah.

Perkembangan Pendidikan Politik di Indonesia
Di Indonesia, kepedulian terhadap hubungan pendidikan dan politik sudah mulai herkembang dalam wacana publik. Walaupun belum menjadi satu bidang kajian akademik. Publikasi berbagai seminar ataupun diskusi yang mengangkat tema tentang pendidikan dan politik masih kurang terdengar. Andaipun ada, fokus bahasannya belum begitu menyentuh aspek-aspek substantif hubungan politik dan pendidikan, hanya masih di seputar aspek-aspek ideologis politik pendidikan. Walaupun demikian, keyakinan akan adanya hubungan yang tak terpisahkan antara politik dan pendidikan sudah mulai terbentuk.
Mochtar Buchori (M. Shirozi, 2005:30) mengemukakan bahwa terdapat beberapa pemikiran yang mendukung mulai berkembangnya kesadaran masyarakat terhadap hubungan antara pendidikan dan politik yaitu:
Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education).
Penjelasan Muchtar Buchori di atas menggambarkan suatu keyakinan terhadap hubungan erat antara pendidikan dan politik. Terdapat keyakinan yang sangat kuat bahwa melalui pendidikan dapat menghasilkan pemimpin politik yang berkualitas.
Paparan penjelasan di atas, pada akhirnya dapat menimbulkan satu pertanyaan mengenai hubungan pendidikan dengan politik. Akankah politik harus memasuki wilayah pendidikan untuk menjalankan fungsi dan tujuannya dan juga sebaliknya? Melalui pendidikan seorang siswa akan paham secara tidak langsung mengenai seluk beluk politik. Begitu pula sebaliknya, bahwa dunia politik adalah salah satu sarana untuk rnengaplikasikan berbagai ilmu yang telah didapat siswa melalui dunia pendidikan. Para siswa tidak dapat acuh tak acuh terhadap segala sesuatu yang terjadi di luar dunia sekolahnya.
Sekiranya penjelasan di atas dapat menggambarkan bahwa terdapat hubungan yang erat dan tak dapat dipisahkan antara pendidikan dan politik. Kedua aspek tersebut memiliki hubungan yang saling memengaruhi dan saling membutuhkan satu sama lain. Untuk lebih jelas memahami kaitan antara pendidikan politik di jalur persekolahan, akan dipaparkan secara lebih lanjut mengenai konsep pendidikan politik dan Pendidikan Kewarganegaraan dalam bahasan selanjutnya

Potensi Pemilih Pemula.
Menurut data BPS 2010, kelompok umur berusia 10-14 tahun 22.677.490 dan kelompok umur berusia 15-19 tahun 20.871.086. Jika diasumsikan kelompok umur 10-14 tahun separuh berusia 17 dan kelompok umur 15 -19 tahun semuanya menjadi pemilih, maka ada 32 juta jutaan potensi suara pemilih pemula pada Pemilu 2014. Dan suara potensial ini sangat signifikan guna memenangkan perhelatan pemilihan umum mendatang.
Pemilih pemula mayoritas memiliki rentang usia 17-21 tahun, kecuali karena telah menikah. Dan mayoritas pemilih pemula adalah pelajar (SMA), mahasiswa dan perkerja muda. Pemilih pemula merupakan pemilih yang sangat potensial dalam perolehan suara pada Pemilu. Suara potensial tersebut setidaknya bisa dilacak dari data dalam dua pemilu terakhir yakni pada Pemilu 2004 dan Pemilu 2009.
Pada Pemilu 2004, ada 50.054.460 juta pemilih pemula dari jumlah 147.219 juta jiwa pemilih dalam pemilu. Jumlah itu mencapai 34 persen dari keseluruhan pemilih dalam pemilu. Jumlah tersebut lebih besar dari pada jumlah perolehan suara partai politik terbesar pada waktu itu, yaitu Partai Golkar yang memperoleh suara 24.461.104 (21,62 persen) dari suara sah. Sementara pada Pemilu 2009 lalu, potensi suara pemilih pemula tetap signifikan.
Besarnya pemilih pemula diperkirakan mencapai 19 persen atau 36 jutaan dari 189 juta penduduk yang memiliki hak pilih. Potensi suara pemilih pemula tersebut tetap lebih besar dibandingkan perolehan suara partai politik terbesar saat itu, yakni Partai Demokrat yang memperoleh 21.655.295 suara. Perolehan suara Partai Demokrat tersebut, jika dihitung berdasarkan suara yang sah dalam pemilu besarnya mencapai 20,81 persen.
Landasan Hukum Pendidikan Politik
Pendidikan politik merupakan suatu sarana untuk meningkatkan kesadaran berbangsa dan hernegara yang dilaksanakan secara berkesinambungan dan terencana. Pelaksanaan pendidikan politik, harus berpegang teguh pada falsafah dan kepribadian bangsa Indonesia. Secara tidak langsung pendidikan politik merupakan bagian integral dari keseluruhan pembangunan bangsa yang dilaksanakan sesuai dengan landasan yang telah mendasari kehidupan bangsa Indonesia.
Berdasarkan Inpres No. 12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda (1982:13), maka yang menjadi landasan hukum pendidikan politik adalah sebagai berikut:
Landasan pendidikan politik di Indonesia terdiri dari:
a.       landasan ideologis, yaitu Pancasila
b.      landasan konstitusi, yaitu UUD 1945
c.       landasan operasional, yaitu GBHN
d.      landasan historis, yaitu Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 dan Proklamasi 17 Auustus 1945".
Pasal 73 ayat 3 Undang Undang No. 3 tahun 1999 berbunyi:
"Barang siapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."
Landasan yang tersebut di atas merupakan landasan pokok pendidikan politik yang disertai landasan kesejarahan dan sebagai upaya peminimalisir angka Golput. Hal ini penting karena warga negara terutama siswa harus mengetahui sejarah perjuangan bangsa agar memiliki jiwa, semangat, dan nilai-nilai kejuangan 1945.
Dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD Nomor 18 mendefinisikan pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah atau pernah kawin. Dari sekian banyak potensi pemilih yang beraneka ragam pada Pemilu 2014, tak ada satupun partai politik peserta pemilu sampai saat ini yang secara khusus melirik keberadaan pemilih pemula padahal suaranya sangat potensial.

Literasi Politik
Pengetahuan politik pemilih pemula sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelompok pemilih lainnya. Perilaku pemilih masih erat dengan faktor sosiologis dan psikologis dalam menjatuhkan pilihan politiknya jika ditinjau dari studi voting behaviors.
Namun yang membedakan pemilih pemula dan kelompok lainnya adalah soal pengalaman politik dalam menghadapi pemilu. Preferensi yang dijadikan sandaran dalam melakukan pemilihan cenderung tidak stabil atau mudah berubah-rubah sesuai dengan informasi atau preferensi yang melingkarinya.
Faktor yang sangat penting adalah bagaimana pemilih pemula tak menjatuhkan pilihan politiknya karena faktor popularitas belaka. Kecenderungan pemilih pemula akan menaruh simpati kepada kandidat atau caleg dari kalangan selebriti dibandingkan dengan kandidat/caleg non selebriti.
Oleh karena itu, segenap komponen atau orang yang memiliki otoritas wajib meliterasi (politik) pemilih pemula supaya menjadi pemilih yang kritis dan rasional (critical and rational voters). Artinya dalam menjatuhkan pilihannya bukan karena faktor popularitas, kesamaan etnis dan kedekatan emosional, namun karena faktor rekam jejak, visi misi, kredibilitas dan pengalaman birokrasi. Upaya tersebut adalah bagian dari political empowerment bagi warga negara terutama perilaku pemilih pemula dan karena melihat potensi suara pemilih pemula yang signifikan pada Pemilu 2014.
Hal itu penting karena pemilih pemula adalah pemilih yang ikut andil menentukan pemimpin negeri ini tidak hanya pada Pemilu 2014 namun juga pemilu-pemilu selanjutnya. Perilaku pemilih pemula menjadi indikator kualitas demokrasi secara substansial pada saat ini dan masa akan datang. Karena kondisinya masih labil dan mudah diberikan wawasan politik dan demokrasi secara benar baik dari suprastruktur politik maupun infrastruktur politik. Maka pemilih pemula masih terbuka menjadi pemilih yang cerdas dan kritis dalam menentukan pemimpin di Indonesia

Urgensi Pendidikan Politik
Pendidikan politik dapat dikatakan sebagai media penyampaian konsep politik yang memiliki tujuan akhir untuk membuat warga negara menjadi lebih melek politik. Warga negara yang melek politik adalah warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban sehingga dapat ikut serta dalam kehidupan berbangsa dan hernegara dalam setiap proses pembangunan. Pendidikan politik diperlukan keberadaannya terutama untuk mendidik generasi muda saat ini yang nantinya akan menjadi generasi penerus bangsa.
Eksistensi pendidikan politik di sini adalah sebagai tongkat estafet kepada generasi selanjutnya dalam dalam memahami konsep-konsep politik kenegaraan. Fungsi pendidikan politik yang paling periling adalah sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai pemikiran baru, ideologi baru. dan berbagai ancaman, tantangan, hambatan. serta gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Pemerintah telah menyadari bahwa generasi muda saat ini tengah hidup di dalam era globalisasi yang penuh dengan persaingan dan kompetisi antar individu. Kebebasan menjadi satu bagian yang penting dalam era ini. Sadar akan hal tersebut, pemerintah mencoba untuk membangun tameng yang dapat melindungi generasi muda saat ini dari pelunturan dan penghilangan jati diri bangsa. Kekhawatiran pemerintah ini tercermin dalan Inpres No. 12 Tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi Generasi Muda yang di dalamnya menyebutkan bahwa:
Kaum muda dalam perkembangannya berada dalam proses pembangunan dan modernisasi dengan segala akibat sampingannya yang bisa mempengaruhi proses pendewasaanya sehingga apabila tidak memperoleh arah yang jelas maka corak dan warna masa depan negara dan bangsa akan menjadi lain daripada yang dicita-citakan.
Perkembangan zaman yang terasa sangat cepat jika tidak dibarengi dengan wawasan berpikir yang luas hanya akan membawa generasi muda bangsa ini ke dalam kehidupan yang lepas kendali. Oleh karena itu, pendidikan politik diperlukan sebagai.filter terhadap segala pengaruh buruk yang mungkin datang.
Jadi, pada kesimpulannya dengan memacu dari data BPS duara pemilih pemula yang berusia 17-21 adalah 32 juta, maka urgensi pendidikan politik pada mata pelajaran di SMA merupakan salah satu upaya yang ditempuh oleh pemerintah dalam memberikan arah pada generasi muda saat ini agar memiliki pemahaman yang jelas terhadap arah tujuan bangsa.
    V.            BAB 5 Penutup
Makin dekat penyelenggaraan Pemilu 2014, suara-suara miring tentang golongan putih (golput) makin santer terdengar. Di antara sikap yang mengarah ke golput itu adalah banyaknya warga masyarakat yang tak peduli terhadap Pemilu 2014. maka perlu adanya stategi pemerintah untuk menanggulangi propblematika tersebut, seperti halnya solusi yang kami wacanakan adalah dengan pendidikan politik yang di selenggarakan di bangku sekolah SMA sedrajat.
Eksistensi pendidikan politik di sini adalah sebagai tongkat estafet kepada generasi selanjutnya dalam dalam memahami konsep-konsep politik kenegaraan. Fungsi pendidikan politik yang paling periling adalah sebagai penyaring (filter) terhadap berbagai pemikiran baru, ideologi baru. dan berbagai ancaman, tantangan, hambatan. serta gangguan baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri. serta bertujuan untuk Pertama, adanya kesadaran tentang hubungan yang erat antara pendidikan dan politik. Kedua, adanya kesadaran akan peran penting pendidikan dalam menentukan corak dan arah kehidupan politik. Ketiga, adanya kesadaran akan pentingnya pemahaman tentang hubungan antara pendidikan dan politik. Keempat, diperlukan pemahaman yang lebih luas tentang politik. Kelima, pentingnya pendidikan kewarganegaraan (civic education).






 VI.            Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_uang diambil 26 juni 2013 16:00
Harnanto Untung Dwi.(2002), Golput dalam Etika Demokrasi Pancasila, Dosen Pancasila UPT MKU Universitas Diponegoro
Affandi, Idrus. (1996) Kepeloporan Organisasi Kemasyarakatan Pemuda dalam Pendidikan Politik. Disertasi Pasca Sarjana IKIP Bandung. Tidak diterbitkan.
Kartono, Kartini. (1990) Wawasan Politik Mengenai Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Penerbit CV Mandar Maju.
Kantaprawira, Rusadi. (2004) Sistem Polilik Indonesia: Suatu Model Pengantar Bandung: Sinar Baru Algensindo
Nasiwan,(2012) Dilema Pendidikan Politik sebagai basis Trasformasi pada Gerakanama’ah Tarbiyyah. mahasiswa FIS Universitas Negeri Yogyakarta.
Sirozi, Muhammad. (2005) Politik Pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan dan Politik Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Hendrizal. (2013), Golput dan Pendidikan Politik, Dosen Ilmu Politik PPKn FKIP Universitas Bung Hatta, Padang Ekspres. Senin, 20/05/2013 11:30 WIB
Yenglis Elitefamz. (2013), Indonesia Menanti Kebangkitan Kembali Generasi Muda, Kamis, 30 Mei 2013 09:15 wib
Rosit, Muhammad.(2013), Melirik Potensi Pemilih Pemula pada Pemilu 2014, Dosen Public Relations Politik di Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Posted: 10/04/2013 17:48

VII.            DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Ketua Kelompok

Nama                                                : Ulil Albab
NIM                                      : 34201200106
Jurusan / Fakultas                 : Pend Matematika / FKIP
Tempat, Tanggal Lahir          : Demak, 07 Januari 1993
Universitas                            : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Alamat / HP                          : Karanganyar 03/02, Demak / 085640110670
Email                                     : albababie@gmail.com
Tanda tangan                        :
Ketua Pelaksana      

Ulil Albab               
NIM. 34201200106 












Anggota 1
Nama                                                : Surya Chandra Kartika
NIM                                      : 34201200111
Jurusan / Fakultas                 : Pend Matematika / FKIP
Tempat, Tanggal Lahir          : Pati, 5  Agustus 1994
Universitas                            : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Alamat / HP                          : Ds. Ronggo 06/08, Jaken, Pati / 085640348839
Email                                     : chacha.tian@ymail.com
Tanda tangan                        :
Anggota Pelaksana 1

Surya Chandra K.    
NIM. 34201200111 
Anggota 2
Nama                                                : Ully Ulfa
NIM                                      : 422110034
Jurusan / Fakultas                 : Pend Matematika / FKIP
Tempat, Tanggal Lahir          : Demak, 05 Februari 1993
Universitas                            : Universitas Islam Sultan Agung Semarang
Alamat / HP                          : Memawan Merak 07/01, Dempet, Demak
Email                                     : fallyza@gmail.com
Tanda tangan                        :
Anggota Pelaksana 2

Ully Ulfa                  
NIM. 422110034